MEDIUSNEWS - Dua korporasi berbasis bisnis kelapa sawit dalam laporan tahunan perusahaan (2021) melansir raihan pendapatan mencapai ratusan triliun rupiah. Salah satunya malah membukukan pendapatan mendekati Rp 1.000 triliun.
Patut dicatat bahwa kedua perusahaan tersebut mengandalkan pendapatan dari perkebunan dan pabrik pengolahan yang berada di Indonesia. Pemegang saham mayoritas/pengendali atau pemiliknya juga tercatat sebagai warga negara Indonesia. Sayangnya, kantor pusat kedua perusahaan tersebut berlokasi di Singapura.
Otoritas pajak tentu sudah bisa membayangkan potensi pajak yang hilang hanya karena alamat kantor perusahaan di luar negeri. Kedua perusahaan tersebut tentu saja memiliki anak perusahaan di Indonesia. Tapi selisih pendapatan antara perusahaan induk dan anak (subsidiary) berdasarkan laporan yang sama mencapai ratusan triliun rupiah, suatu jumlah yang signifikan.
Yang harus diketahui juga, dari sekitar 25 perusahaan sawit raksasa yang mengelola lahan perkebunan lebih dari 100.000 hektare, terdapat 11 perusahaan yang berkantor pusat di luar negeri. Padahal, perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya mendominasi di sektor agro, tapi juga masuk ke industri pengolahan (manufaktur) dari hulu, antara (intermediate) hingga hilir. Bahkan ada juga yang menggarap hingga ke sektor ritel.
Dampak ke Penerimaan Negara
Tak mengherankan bila Menko Maritim dan Investasi menginisiasi audit atas seluruh perusahaan sawit. Latar belakangnya tentu saja tidak hanya demi penegakan hukum maupun penyelesaian masalah insidentil, seperti kasus kelangkaan minyak goreng.
Sebagaimana diuraikan di atas, potensi penerimaan negara yang hilang bisa mencapai angka puluhan triliun rupiah.
Sebagaimana diuraikan Luhut, melalui audit regulator bisa memastikan luas lahan perusahaan sesungguhnya. Hal ini penting mengingat banyaknya laporan perambahan hutan tanpa izin, di antaranya dilakukan oleh perusahaan sawit. Selain itu, luas lahan perusahaan yang terdaftar di lembaga negara bisa berbeda dengan publikasi di sumber-sumber pasar keuangan.
Kepastian terkait luas lahan penting diketahui karena berkaitan dengan setoran PNBP pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit. Ada juga kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari lahan perkebunan perusahaan. Ujung dari pengetahuan soal luas lahan garapan perusahaan adalah otoritas pajak bisa memastikan setoran PPh Badan perusahaan tersebut.
Audit pun memungkinkan regulator mengetahui struktur perusahaan. Banyak raksasa sawit yang berstatus perusahaan tertutup (private company) atau perusahaan keluarga. Perusahaan seperti ini tidak memiliki tanggung jawab untuk mempublikasikan laporan perusahaan. Alhasil, banyak aktivitas bisnis perusahaan yang menjadi langganan aduan warga maupun LSM.
Pemahaman terkait struktur perusahaan, afiliasi dengan subsidiary dan perkebunan-perkebunan kecil hingga status kepemilikan lahan perkebunan yang sebenarnya akan memungkinkan pungutan pajak dilakukan secara maksimal. Contohnya, afiliasi perkebunan A atau Koperasi Sawit B dengan perusahaan C perlu diketahui regulator. Dengan demikian, produksi sawit dan penyerahan tandan buah segar (TBS) ke perusahaan bisa diketahui dan dihitung demi perolehan PPN.
Hal serupa bisa diterapkan dalam konteks berbeda. Sejumlah perkebunan kecil atau usaha skala mikro/koperasi berafiliasi pada perusahaan besar yang berkantor di luar negeri.
Kerjasama suplai komoditas antarpihak maupun rantai pasok bahan baku perlu diketahui regulator. Pasalnya, masih banyak kelompok masyarakat atau koperasi yang tidak terdaftar atau merambah hutan secara illegal pula. Sementara itu, besaran PPN dihitung dari nilai produksi PKO.
Artikel Terkait
Kontribusi Sawit Bagi Ekonomi Nasional Perlu Didukung Riset & Pengembangan
Harga CPO Membaik, DPR Minta PTPN VI Tingkatkan Produksi Sawit
Minyak Goreng Langkah, CIC Desak Aparat Hukum Telisik Dana Subsidi Rp7,6 T Di Perusahaan Kelapa Sawit
Atasi Persoalan Minyak Goreng, Presiden Didorong Bentuk Badan Sawit