MEDIUSNEWS - Pemerhati Budaya, Lingkungan, dan Pariwisata Manggarai Heribertus P. N. Baben menilai kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo perlu didahului dengan kajian mendalam dan kalkulasi terukur terkait potensi dampak yang ditimbulkan. Pasalnya, kekeliruan dalam penerapan tarif bisa berdampak luas.
"Dampaknya bisa kontraproduktif terhadap kebijakan makro pariwisata nasional hingga berefek domino pada sektor riil terutama terhadap ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif di Labuan Bajo," ulas Heribertus Baben kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 17 Juli 2022.
Herry menjelaskan, kebijakan makro di sektor pariwisata, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, adalah pengembangan kepariwisataan secara terfokus dan bertahap untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Untuk itulah dipilih lima destinasi wisata super prioritas, yang di dalamnya terdapat Labuan Bajo dengan Taman Nasional Komodo sebagai daya tarik utamanya.
Baca Juga: Soal Kenaikan Tarif Masuk Taman Nasional Komodo, Ini Pandangan Heribertus Baben
Sebagaimana diulas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, penentuan lima destinasi super prioritas, termasuk Labuan Bajo, berdasarkan keunggulan dan keunikan alami maupun sosial-kemasyarakatan yang dinilai berkelas dunia. Lima destinasi tersebut akan dikembangkan sehingga bisa mendongkrak waktu tinggal dan belanja wisatawan di lokasi-lokasi wisata.
"Selanjutnya, pemerintah melakukan investasi besar-besaran di kawasan-kawasan tersebut yang terarah pada pembangunan infrastruktur, pembangunan jaringan telekomunikasi, pengembangan produk ekonomi kreatif, hingga mempersiapkan SDM yang unggul. Investasi dan peningkatan kunjungan wisatawan itu bersifat resiprokal atau timbal balik," urai Herry.

"Apakah dengan tarif sebesar itu target peningkatan kunjungan wisatawan akan tercapai? Apakah dengan penetapan tarif baru itu investasi besar yang dilakukan negara di Labuan Bajo dan Flores secara umum akan membuahkan hasil? Poin-poin ini perlu dipertimbangkan agar tidak kontraproduktif dengan misi destinasi wisata super prioritas," tandas pria yang juga merupakan Executive Secretary Institut 4.0 Indonesia.
Lagi pula, menurut dia, kondisi ekosistem pariwisata nasional, termasuk di Labuan Bajo, belum benar-benar pulih dari pukulan yang diakibatkan oleh Pandemi Covid-19. Tahun 2022 pun masih tergolong periode transisi atau pemulihan. Jika, kajian mengenai kenaikan tarif tidak dilakukan secara saksama maka langkah tersebut berpotensi menjadi pukulan baru bagi sektor pariwisata.
Pertumbuhan negatif di sektor pariwisata, dalam pandangan Herry, tergolong memiliki dampak luas. Alasannya, dari kajian Kadin Indonesia (2014), ekosistem pariwisata memiliki kaitan dengan 90-an bidang usaha lain, dengan multiplier effect level primer maupun sekunder.
"Jadi yang berpotensi terdampak cakupannya sangat luas, mulai dari yang bisnis kelas berat seperti maskapai penerbangan dan kapal pesiar hingga ke petani sayuran dan nelayan yang memasok kebutuhan wisata kuliner. Tentu saja termasuk di dalamnya penerimaan negara maupun kesatuan ekonomi nasional secara umum yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 4 UUD 1945," sambung Herry.
Mengingat dampaknya yang luas terhadap rantai nilai pariwisata, Herry berharap kajian mengenai tarif ataupun kebijakan turunan/lapangan lainnya tidak dilakukan secara serampangan. Risiko dari kesalahan kebijakan tersebut berefek pada pembangunan ekonomi nasional maupun perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Artikel Terkait
Kejati DKI Tengah Memburu Tersangka Gratifikasi Pejabat Kemenkumham, Aspidsus: 12 Orang Masih Status Saksi
Soal Kenaikan Tarif Masuk Taman Nasional Komodo, Ini Pandangan Heribertus Baben
Mantan Presiden ACT: Dana Operasional 20-30 persen dari Donasi
Ansy Lema Kritisi Komersialisasi Serampangan atas Pulau Komodo dan Pulau Padar di Taman Nasional Komodo
WhatsApp, Google, Netflix, Twitter, Facebook Terancam Diblokir, Ada Apa